Home » » Rena’s Secret Garden

Rena’s Secret Garden

Rena’s Secret Garden

JKT48-Pajama Drive 1st Generation.mkv_snapshot_00.07.05_[2013.08.11_09.23.35]
“Huaaaaah! Akhirnya sampai juga!” Nabilah berseru seraya melompat dari anak tangga terakhir pesawat. Dan setelah kakinya berdiri tegak di tempat landasan, ia meletakkan kedua tangannya di pinggang.
Frieska, yang masih pusing karena telinganya berdenging selama di pesawat, meregangkan tubuh. “Finally, Tokyo!”
“Ayo JKT48! Semangat!” seru si Kapten Kinal, mengacungkan tangannya ke atas. Member-member lain pun menanggapi seruannya.
“Eh, Ren, kita sudah di Jepang, nih! Kampung halamanmu! Kangen gak?” Kinal merangkul Rena yang berada di sampingnya. Dari tadi Rena belum mengucap sepatah kata pun, hanya menatap sekeliling dengan ekspresi yang tak bisa diartikan.
“Ah iya, kangen banget…” jawab Rena pelan. Jika saja Kinal memperhatikan, ada nada lirih dalam suaranya.
Kangen banget… Tapi, bukan Jepang yang Rena maksudkan dengan kalimat itu.
Yang Rena maksudkan adalah sesuatu yang lain. Yang sangat ia rindukan, yang merupakan kenangan termanisnya—tersimpan selama berbulan-bulan di suatu tempat indah di belakang Tokyo Dome.
Semua member JKT48 sudah tiba di Jepang pagi itu. Entah sudah keberapa kalinya mereka menginjakkan kaki di Negeri Sakura, tetapi tetap saja rasanya menyenangkan! Apalagi kali ini mereka akan melaksanakan perform mereka yang kali kedua di Tokyo Dome, sementara biasanya mereka bahkan tidak menginjakkan kaki di Tokyo, melainkan di kota-kota lain seperti Osaka.
Daisuke… Apa kabar? Kali ini aku akan ke Tokyo Dome lagi, bisik Rena dalam hati.
Apa kau akan ada di taman?
Flashback satu tahun yang lalu.
“Kalian semua boleh jalan-jalan dulu, tapi kumpul lagi disini jam tiga ya! Jam tiga! Jangan lupa, jangan telat, Achan jangan ketiduran! Soalnya kita harus gladi resik dulu!” seru Melody, menyampaikan apa yang tadi dikatakan manager.
Hari ini JKT48 akan tampil di Tokyo Dome untuk pertama kalinya! Di depan semua fans Jepang!
“Iya!”
“Oke, Kak Melody!”
“Tuh, Ayana jangan ketiduran!”
“Siip, Mel!”
“Siaaap! JKT48 semangaaat!”
“Cigul jangan ilang di jalan, ya!”
“Oke oke, Kak!”
Berbagai macam tanggapan bersemangat menjawab kalimat Melody.
Rena sedang menyampirkan tasnya di lengan saat Gaby, Delima, dan Ghaida menghampirinya. “Renaaa, mau kemana? Mau cari makan bareng nggak, sama kita?”
Rena nyengir bersalah, “Maaf yaa aku nggak bisa ikut bareng kalian. Mau jalan-jalan sendiri.”
“Oooh mau ngebolang ya?” Delima manggut-manggut. “Oke, deh, kalau kesasar langsung telpon kita ya!”
“Aku nggak akan tersesat, kok!” memajukan bibirnya, Rena pura-pura marah. “Aku kan lahir di Jepang, dan dulu juga tinggal disini! Iih, pokoknya nggak akan! Delima jangan jahil, deh!”
Gaby tertawa sementara Ghaida mencubit pipi Rena. “Iya, iyaaa. Hati-hati ya, Rena! Daaaah!”
Saat itu Rena benar-benar tidak menyangka bahwa kalimat Delima akan menjadi kenyataan dalam dua jam kemudian…
Rena mengecek jam tangannya. Sudah jam setengah tiga.
Uwaaah, bagaimana ini? Tanyanya dalam hati, resah. Jika dalam setengah jam ia tidak kembali ke tempat latihannya (yang berada di salah satu ruangan di Tokyo Dome), maka manager, pelatih koreografi, dan member lainnya akan khawatir, serta memarahinya!
Ditambah lagi, ia lupa untuk membawa ponsel! Lengkap sudah. “Aduuh Rena-chan, kenapa bisa sampai tersesat, sih?” katanya pada diri sendiri. Tadi, Rena sedang melewati jalanan yang dulu sering ia gunakan untuk pulang bersama teman-temannya saat TK, dan ternyata jalanannya sudah banyak berubah. Alhasil, ia tersesat disini. Di tengah jalanan yang ramai.
Jangan menangis, katanya dalam hati dengan panik. Apapun, selain menangis, Rena Nozawa! Ia mengingatkan diri sendiri. Semuanya akan baik-baik saja…
Dan Rena menangis.
“Hei, kau kenapa?”
Tahu-tahu seseorang sudah berada di hadapan Rena, bertanya dengan bahasa Jepang. Dalam keadaan menunduk (untuk menutupi air mata yang mengalir di pipinya) Rena hanya dapat melihat lutut sampai kaki orang di hadapannya.
“T-tidak apa-apa… Aku b-baik-baik saja, terima kasih sudah bertanya,” jawab Rena dalam bahasa Jepang juga. Ia berusaha menyembunyikan suaranya yang bergetar, tapi tidak berhasil.
Dengan satu gerakan cepat yang tak terduga, orang di hadapan Rena meletakkan ibu jarinya di dagu Rena dan mengangkat kepala gadis tersebut hingga menghadap wajahnya. “Kau benar-benar ‘baik-baik saja’,” gumam orang tak dikenal tersebut, sarkatis.
Untuk beberapa saat, Rena hanya terdiam, matanya membulat. Sekitar sepuluh senti di depan wajah gadis itu, seorang cowok Jepang yang terlihat tampan dan cool sedang memandang ke arah lain—mencoba untuk tidak bertatap mata dengan Rena.
Cowok itu memakai seragam sekolah. Satu atau dua tahun lebih tua daripada Rena, sepertinya. Dan dari seragam basket yang tersampir di tangan kiri cowok tersebut, kemungkinan besar ia adalah anggota tim basket di sekolahnya.
Entahlah, menatapnya membuat Rena teringat akan tokoh Tappei di komik Koicchimuite, Miiko! (Hai, Miiko!).
“Sampai kapan kau akan menatapku terus?” kata cowok itu lagi, setelah mengambil kesempatan untuk melirik singkat Rena yang masih menancapkan pandangan padanya. “Dan kenapa kau menangis di tengah jalan?”
Rena mengerjapkan mata dan menggeleng kuat-kuat. “Aku tidak menatapmu!” ujarnya, membantah seperti anak kecil. “Dan aku tidak menangis!”
“Yeah, kau benar,” cowok di hadapannya terkekeh. “Kau sama sekali tidak menatapku dengan pandangan berbinar, dan kau juga tidak menangis. Sama sekali. Kecuali jika kita mengabaikan fakta bahwa di pipimu masih tersisa air mata.”
“Daisuke. Daisuke Ryuuji.” si cowok tiba-tiba mengulurkan tangannya, kali ini menatap Rena hangat.
“R-Rena,” Rena tergagap, membalas uluran tangan Daisuke. “Rena Nozawa.”
“Jadi… kenapa kau menangis? Jangan bilang bahwa kau baru saja diputuskan oleh salah satu cowok brengsek yang sayangnya adalah pacarmu.”
Rena tertawa dalam isakannya yang sulit berhenti. “Apa semua gadis yang menangis disini selalu menangis karena alasan tersebut?”
Daisuke mengusap bagian belakang lehernya sendiri. “Sebenarnya tidak. Lagipula tidak ada gadis yang pernah menangis disini sebelumnya—mereka memilih menangis di tempat-tempat sepi dibanding di tempat ramai dan di tengah jalan sepertimu. Tapi tetap saja, kebanyakan gadis, kan, menangis gara-gara hal payah itu.”
“Aku tidak menangis karena putus dengan pacar, kok. Aku menangis karena… tersesat.” Pipi Rena memerah.
“Kau… tersesat?” Daisuke menatapnya tidak percaya. “Syukurlah, setidaknya itu berarti pacarmu cowok yang baik,” ia menghela napas lega. (Ini membuat Rena cukup heran, karena Daisuke sendiri kelihatan seperti anak laki-laki bandel yang suka bergonta-ganti pacar.)
“Eh? Aku tidak punya pacar.” Rena membantah cepat, kedua tangannya bergerak menyilang.
“Oh begitu,” kata Daisuke, nyengir. “Rumahmu dimana? Biar aku antarkan pulang.”
“Soal itu…” Rena menggembungkan pipinya sedikit, berpikir. Haruskah ia berkata pada Daisuke bahwa dirinya adalah anggota idolgroup yang merupakan sister dari AKB48? Dan haruskah dia bilang juga bahwa dia tidak tersesat dalam perjalanan pulang ke rumah, melainkan tersesat dalam perjalanan ke Tokyo Dome? Karena Daisuke sebagai orang Jepang pasti tidak mengenalnya sebagai member JKT48. Yah, kecuali jika Daisuke adalah fans dari AKB48 merangkap JKT48 (yang Rena yakin sekali jawabannya adalah bukan).
“Hei, ayo jawab,” Daisuke membungkuk sedikit, memperhatikan wajah Rena dalam jarak (terlalu) dekat. Saat Rena menyadarinya, gadis itu tersentak dan mundur beberapa langkah. Tawa Daisuke meledak.
“Jangan menertawakan aku,” seru Rena dengan wajah marah yang menggemaskan. “B-bisakah kau mengantarkanku ke Tokyo Dome?”
“Huh? Jadi kau mau ke Tokyo Dome?” tubuh Daisuke kembali tegak. “Ingin menonton konser, ya?”
“I-iya, aku ingin menonton konser AKB!” Rena menghapus air matanya yang tersisa dan menjawab seceria mungkin setelah memutuskan untuk tidak memberitahu Daisuke kalau sebenarnya ia bukan ingin menonton konser, namun ia-lah yang akan melaksanakan konser disana, bersama AKB dan teman-temannya dari JKT.
“Sudah sampai, nih,” kata Daisuke, memarkirkan motornya di sebuah taman yang berada beberapa meter di belakang Tokyo Dome.
Ya, mereka memang mengendarai motor kesini. Walaupun sebenarnya Daisuke belum mempunyai SIM.
“Waaah, ternyata di belakang sini ada taman ya,” Rena turun dari motor dan memandangi taman di hadapannya. Taman itu hanya taman kecil biasa, dengan berbagai macam mainan seperti papan seluncur dan ayunan.
Daisuke mengangkat bahu. “Begitulah.” Ia ikut turun dari motor, lalu mengambil posisi nyaman di sebuah ayunan.
“Konser yang ingin kau tonton dimulai jam berapa? Sudah jam tiga lewat lima belas, lho,” Daisuke mengingatkan.
“Tiga lewat lima belas?” mulut Rena menganga. Celaka, dia sudah terlambat!
Mengetahui situasi, Daisuke menggunakan dagunya untuk menunjuk ke arah gedung. “Sana, lari ke dalam lewat pintu belakang saja.”
Rena mengangguk dan segera berlari.
Ah, aku lupa bilang terima kasih… batin Rena setelah konser selesai pada pukul delapan malam. Ia sedang berada di ruang rias, menghapus make up dengan kapas yang sudah dipakaikan pembersih.
Ia cepat-cepat membasuh make up yang tertinggal di wajahnya, mengganti seifuku dengan pakaian biasa, dan melesat ke luar gedung.
Tadinya Rena kira Daisuke sudah pulang, tapi ternyata motor itu masih ada disana. Dan saat Rena datang, Daisuke melambai dari ayunan.
“Kau masih disini?” tanya Rena polos.
“Tentu saja, Bodoh. Mungkin saja kau tidak tahu jalan pulang dan butuh tumpangan lagi,” Daisuke bangkit, mengacak rambut Rena—membuat twintail-nya bergerak kesana kemari.
“Jangan panggil aku ‘Bodoh’!” protes Rena. Ia menjauhkan kepalanya dari tangan Daisuke.
Daisuke tertawa. “Hanya bercanda. Jadi? Kau mau kuantar atau kau tahu jalan pulang dan akan pulang sendiri?”
“Aku akan pulang sendiri,” Rena bergumam. Daisuke melirik ke arahnya. Tahu-tahu gadis itu sedang serius menaiki tangga seluncuran dengan tampang tanpa dosa.
(Daisuke: *facepalm*)
“Kau tidak pulang?” tanya Daisuke heran.
“Nanti saja,” Lagipula member lainnya masih sibuk menghilangkan make up kok, lanjut Rena dalam hati. Ia meluncur dengan tangan ke atas, benar-benar terlihat bahagia.
“Ah ya, Daisuke, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak ada, bisa-bisa aku terlambat. Atau malah, bisa-bisa aku masih berada di jalan tadi hingga saat ini.”
“Hm? Ah, sama-sama,” Daisuke memalingkan wajah, tidak mau membiarkan Rena melihat senyum kecilnya.
Hening sesaat.
Bruk!
Terperanjat, Daisuke refleks menoleh ke tempat Rena berada.
Hanya untuk menemukan Rena duduk menjeplak di tanah, meringis kesakitan.
Pasti jatuh dari seluncuran. Dasar…, batin Daisuke dalam hati. Ia menghampiri Rena, mengulurkan tangan, dan membantunya berdiri.
“Naik lagi saja, aku akan menahanmu kalau jatuh.”
“Aku tidak akan jatuh lagi, kok! Ayo, Daisuke ikut main saja!”
Lima belas menit selanjutnya, sepasang remaja sudah sibuk bermain seluncuran bersama di taman tersebut. Konyol sekali jika orang melihat mereka—dan untungnya memang tidak ada yang melihat mereka.
“Daisuke, aku harus pulang. Besok aku akan ke Tokyo Dome lagi.”
“Kau mau menonton konser lagi? Kau ini benar-benar fans fanatik AKB48 ya,” kata Daisuke, mengerutkan dahi.
“Ng… bisa dibilang begitu. Apa besok kau mau ke taman ini?”
“Apa itu pertanyaan? Atau ajakan?”
Rena terdiam sebentar sebelum menjawab, “I-itu ajakan. Besok ke taman ini ya!”
“Baiklah.”
“Tunggu aku jam delapan malam!” pinta Rena, tersenyum.
Itu adalah awal mula kedekatan Rena Nozawa dengan Daisuke Ryuuji. JKT48 saat itu sedang berada di Tokyo untuk dua minggu, dan selama hampir dua minggu itu pula mereka selalu bertemu di taman yang terletak beberapa meter di belakang Tokyo Dome. Rena tidak pernah bercerita pada para member, ia khawatir pihak manajemen akan tahu dan melarangnya bertemu dengan Daisuke karena mengira Daisuke adalah pacarnya.
Meski, yah, dia menyukai Daisuke.
Hari ini hari terakhir JKT48 akan berada di Jepang.
Rena menelan ludah. Itu berarti ia harus memberitahu Daisuke bahwa ia tidak akan muncul lagi di taman untuk beberapa waktu.
“Pengumuman mendadaaaaak!” pintu kamar hotel tempat JKT48 menginap menjeblak terbuka. Dari suaranya, semua member sudah tahu bahwa Melody yang akan muncul.
Benar saja, Melody masuk ke dalam kamar bersama Rica, Sonya, Stella, dan tak lupa Kinal.
“Kepulangan kita dipercepaaaaat!” seru Sonya.
“Kita akan pulang ke Jakarta detik ini jugaaaa!” lanjut Rica.
“Jadi semuanya cepat beresin barang terus ke bus yaaa! Jangan sampai ada yang ketinggalan!” Kinal mengakhiri kalimat.
“S-sekarang juga?” tanya Rena bingung. Bagaimana ia akan menyampaikan salam perpisahan pada Daisuke?
“Iya, Ren, cepat siap-siap gih,” jawab Stella.
Rena mengedarkan pandangan, seluruh member lain sedang memasukkan barang mereka ke tas dengan buru-buru. “O-oke…”
Harus bagaimana lagi? Dia tidak mungkin pergi ke taman itu dulu, kan?
Daisuke, gomen-ne…
Kembali ke saat ini.
Melihat gedung Tokyo Dome membuat Rena menggigit bibir.
Dhike menggenggam tangan Rena. “Ren, kenapa? Sakit?”
“E-enggak,” Rena tersenyum sopan.
“Yaudah, yuk, masuk!”
Mereka semua memasuki Tokyo Dome dan menuju ruangan latihan.
Koreografer JKT48 yang sudah berada disana segera menepuk-nepukkan tangan, menyuruh semua member untuk mendengarkannya. “Ayo! Kita langsung aja siap-siap ke formasi River!”
“JKT…48!” Kinal memulai latihan dengan bait pembuka lagu River.
Semuanya segera siap di posisi masing-masing dan melakukan gerakan sesuai koreografi yang sudah berkali-kali mereka pelajari.
Untuk sesaat, Rena melupakan pikirannya akan Daisuke.
“Heavy ro~o~tation…”
Kalimat terakhir lagu Heavy Rotation menyudahi konser tersebut. Semua member AKB dan JKT membungkuk hormat, seiring dengan tepuk tangan dan cahaya lightstick yang membanjiri sekeliling panggung.
Sehabis mengucapkan berbagai macam kata ‘terima kasih’, member-member pun meninggalkan panggung, dan JKT48 pergi ke ruangan mereka.
“Yeeee! Konsernya sukses!” teriak Kinal. Mereka semua menggabungkan tangan dan bersorak seraya mengibaskan tangan ke atas.
“Lho, Rena mana?” tanya Beby.
“Rena? Tadi aku masih lihat dia kok pas turun dari panggung,” sahut Diasta.
“Tunggu aja, mungkin lagi di toilet,” Shanju menenangkan.
Tidak. Rena tidak sedang di toilet.
Masih dengan seifuku Heavy Rotation dan make up-nya, Rena berlari ke belakang Tokyo Dome. Sekarang pukul delapan tepat.
Rena berlari ke taman itu.
Dia tahu Daisuke tidak mungkin ada disana, tapi setidaknya, dia ingin melihat tempat itu. Dia merindukan tempat itu… dan Daisuke.
Rena tersenyum begitu melihat ayunan, papan seluncur, jungkat-jungkit, serta serangkaian besi untuk bergelantungan. Semuanya masih tampak sama, hanya saja catnya sudah tampak pudar dan mengelupas…
“Hanya saja, tidak ada Daisuke,” sambung Rena, tanpa sadar mengucapkannya terlalu kencang.
“Siapa bilang?”
Tampaknya Rena terlalu sibuk dengan semua kenangan yang ada di taman itu, hingga ia tidak menyadari ada sebuah sosok yang terus menerus memperhatikannya dari ayunan.
Daisuke.
Cowok itu melompat bangkit dan menyusuri rambutnya sendiri, memikirkan sesuatu yang tepat untuk diucapkan.
“Hei. Kau tidak pernah bilang bahwa kau adalah member—“
Ucapannya terputus saat Rena memeluknya, erat sekali. Rahang Daisuke jatuh.
“Kau ada disini,” Rena terisak.
Daisuke tersenyum dan balas mendekap Rena. “Kau tidak tahu, ya? Sudah tiga ratus enam puluh lima hari berlalu dan setiap harinya aku rutin mengunjungi taman ini pada jam delapan malam. Yah, tidak rutin juga sih. Kadang latihan basket benar-benar melelahkan dan aku langsung tertidur di rumah.” ia cengengesan.
Rena semakin merasa bersalah. “Daisuke… maaf waktu itu Rena tidak pamitan dulu, itu… itu…”
Daisuke menggeleng. “Ssssh. Sudah, tidak apa-apa,” bisiknya lembut. “Yang penting, sekarang kau ada disini. Di taman ini. Jam delapan malam.”
~ END ~
Author : @happyviarus
Ingin cerpen kalian dipost disini?
Kirim email ke : cerpen@jkt48fans.com
Subject : #JKT48Fanfict

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Serba Ada Serba Seru - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger