Home » » Lady Tsundere! [Part 3]

Lady Tsundere! [Part 3]

Lady Tsundere! [Part 3]

Tsundere!
Side Story: Perasaan Dhike
“Secerah matahari, selembut embun pagi! Aku Dhike!” sambutku pada dunia pagi hari ini.
Perkenalkan aku Rezky Wiranti Dhike, biasa dipanggil Dhike atau Ikey. Hari ini aku sedang berlibur dengan keluarga ku di Bandung. Beberapa hari lagi aku akan masuk masuk sekolah sebagai siswi di salah satu sekolah menengah atas di khusus perempuan di Palembang. Aku terdaftar sebagai siswi kelas 2, dan sebentar lagi aku akan memasuki semester 2.
“pagi maah, pagi paah.” Salamku pada kedua orang tuaku di meja makan.
“pagi ikeey. Ayo nak sarapan dulu.” Jawab dari ibuku.
Aku pun mengambil tempat duduk tepat di sebelah ayahku dan berhadapan dengan ibuku.
“key, gimana seminggu disini kamu betah ga?” Tanya ayahku
“betah kok paah, suasananya enak. Udaranya juga sejuk.” Jawabku sambil senyum.
“baguslah kalo ga ada masalah, semoga aja kamu jadi bisa cepet berabdatasi disini nantinya.”
“nantinya? Maksudnya apa paah?” tanyaku keheranan.
“jadi begini nak.. sepertinya kita sekeluarga ga akan pulang ke Palembang.”
“maksud papa?”
“kita sekeluarga akan tinggal di Bandung untuk beberapa waktu, dan sepertinya kamu akan melajutkan sekolah disini.” Potong ibuku
“maaf ya key, kalo keputusan papa dan mama ini sepihak. Sekali lagi maafin papa ya nak.”
Seketika aku langsung menghentikan makanku. Air mataku mulai mengalir melewati pipi dan jatuh tepat diatas piringku. Marah, kesal, kecewa, sedih, dan banyak lagi perasaan yang tak mampu ku gambarkan pada saat itu. Aku pun berlari ke kamarku dan menangis. Ibuku yang mencoba menghampiriku ditahan oleh ayahku.
“nanti aja mah, nunggu dia tenang dulu.”
Sementara itu di kamar aku hanya bisa menangisi keadaan ku ini. Jujur aku sangat kecewa dengan keputusan sepihak dari kedua orang tuaku. Namun sebagai anak yang berbakti mau tidak mau aku harus menuruti kemauan orang tuaku. Aku pun mengambil handphone ku, menelepon sahabat ku, teman sebangku ku di Palembang.
“diaaaaan maafin akuu.” Itulah ucapan pertamaku padanya
“looh Ikey, kenapa? Kok nangis gitu sih?” suara Dian di ujung telepon sana
“maafin aku, aku gabisa pulang ke Palembang lagi. Dan aku gatau kapan aku bisa ketemu kamu lagi Dian.” Tangisku pun semakin keras
“yaudah kamu, kamu tenang dulu ya. Cerita pelan pelan ya sama aku.”
Kemudian aku pun menceritakan semuanya ke Dian. Dian Matsu adalah sahabat karibku, sejak umur 7 tahun kami sudah sering bermain bersama. Dian adalah anak yang menyenangkan, walaupun ada penyakit yang cukup parah menyelimuti dirinya. Aku pun menceritakan masalahku kepadanya.
“maafin aku ya Dian, aku ga sempet pamit sama kamu. *hiks” tangisku kembali terisak
“ooh gitu ya Key? Aku mah gapapa kok Key, aku ga akan marah kok sama kamu. Kan kamu sahabat aku, kalo kamu ga pamitan kan artinya gada perpisahan diantara kita Key.” Ucapnya pelan, terasa suaranya mulai berat dan bergetar, seakan menahan tangis.
Aku pun menyudahi percakapanku dengannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menemui kedua orang tuaku, dan aku menjelaskan bahwa aku hanya kecewa bukannya marah. Dan setelah itu aku mulai bisa menerima keputusan ini. Beberapa hari berselang akhirnya waktu bersekolah pun tiba.
“perkenalkan, namaku Rezky Wiranti Dhike. Kalian boleh memanggilku Dhike. Terima kasih.” Ucapku gugup sehingga tak ada senyum diwajahku.
Akhirnya aku menempati sebuah kursi di deretan belakang, hanya sendirian. Aku dengar si empunya kursi ini sedang sakit sehingga dia tidak masuk sekolah pada hari ini. Saat pelajaran dan istirahat gugupku tak kunjung hilang. Alhasil tak ada senyum yang tersungging dibibirku. “aku kangen kamu Dian, aku disini belum punya teman.” Batinkku sedih.
Hari kedua, aku masih duduk sendiri. Aku masih belum mempunyai teman. Mungkin karena aku sedikit pemalu dan sering gugup menjadikan aku jarang tersenyum. Banyak teman sekelas yang mulai membicarakanku, banyak juga yang menyebutku sombong atau angkuh. Ayolah, kalian hanya belum mengenalku saja. Teman sebangku ku ini pun belum juga masuk. Dari info yang kudapatkan, ku ketahui kalau dia seorang laki-laki. Mengetahuinya aku semakin gugup. Bagaimana tidak, selama hampir 1 tahun belakangan ini semenjak aku SMA tidak pernah aku berinteraksi dengan laki-laki. Ya kecuali dengan ayah dan kakak ku.
“Ikey, gimana sekolah barunya? Udah dapet berapa temen baru Key?” itulah sms dari Dian.
“bosen, Di. Aku belum punya temen. Temen sebangku aku aja belum masuk. Dan dia itu cowo, Di.” Balasku
“ecieee punya temen cowo.” Ledeknya. Akhirnya aku menutup hari ini dengan saling bercerita dan bercanda dengan Dian.
Hari ketiga sekolah, aku datang terlalu pagi. Sampai di kelas aku langsung duduk dan membaca buku pelajaranku. Beberapa menit kemudian, datanglah laki-laki yang wajahnya sangat asing bagiku, dan dia menghampiriku. Ternyata dia adalah teman sebangku ku. Bian, ya itulah namanya. Beberapa menit sebelum guru datang dia memperkenalkan dirinya. Namun lagi-lagi aku gugup, dan aku tidak berani menyambut tangannya.
“duh kenapa dengan aku? Apa sebegininya aku gugup sampai-sampai melewatkan kesempatan untuk mendapatkan teman pertamaku disini.” Batinku.
Selama 3 hari hanya dialah orang pertama yang mau memperkenalkan dirinya kepadaku. Seharian ini dia terus saja mengoceh dan mengajakku berbicara. Namun aku hanya diam, beberapa kali aku mencoba menutupi senyumku dengan buku karena mendengarkan ocehan konyolnya.
“Dian!! Aku punya temen sebangku baru :D ” itulah pesan singkat yang kukirimkan ke Dian. Setelah menunggu berjam-jam tak kunjung ada balasan dari Dian. “mungkin dia lelah.” Aku mencoba berpikir positif kepada sahabatku ini.
Beberapa hari kemudian saat aku menunggu ayahku menjemput. Bian menghampiriku dan menawarkan dirinya untuk mengantarku pulang. Namun sayangnya ayahku datang dan aku meninggalkannya.
“itu siapa Key?” Tanya ayahku sambil menunjuk kearahnya ketika aku baru masuk mobil.
“Bian pah, temen sebangku aku.” Jawabku
Sesampainya di rumah, saat aku sedang belajar aku mendapati ponselku bergetar. Aku mendapatkan pesan dari Dian.
“Ikey maaf, aku baru ngasih kabar ke kamu. Eh gimana teman sebangku kamu Key?”
“Diaaan, gapapa kok. Yg penting kamu sehat ya. Temen sebangku aku bawel banget Di, padahal cowo.” Ceritaku pada Dian.
“wiih, beneran cowo ga tuh Key, curiga deh. Wkwkwk”
Senangnya aku hari ini, karena aku bisa menutup hari ini dengan Dian lagi.
Di sekolah aku mendapatkan tugas kelompok, dan Bian lah yang menjadi partnerku. Sore pun tiba, selama jam pelajaran aku berusaha mengajaknya untuk membahas tugas ini sepulang sekolah nanti. Namun kuurangkan niatku karena aku gugup. Sepulang sekolah aku memanggilnya untuk mengajakknya berdiskusi. Karena aku menggunakan segenap tenagaku untuk melawan rasa gugupku ini, alhasil suara yang aku hasilkan cukup keras, dan hampir menyerupai teriakkan. Selama berdiskusi aku terus yang berbicara. Aku sempat heran dengannya, mana sifat bawelnya yang biasanya lekat dengannya.
Setelah selesai, seperti biasa aku menunggu ayahku menjemput. Lagi-lagi Bian mengajakku pulang bersama, karena tahu aku sedang menunggu ayahku maka dia hanya memutuskan untuk menemaniku menunggu ayahku sambil melahap bakso.
“Nak, maaf ayah tidak bisa menjemput sore ini. Kamu pulang naik taksi saja ya.” Itulah pesan singkat dari ayahku.
Aku pun bingung, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran dari Bian. Ada-ada saja yang terjadi di perjalanan saat itu, mulai dari ban yang bocor, aku yang kena gombalannya, dan candaan konyol lainnya. Menyenangkan, itulah yang aku rasakan saat ini. Sesampainnya di rumah ku, aku langsung berlari ke dalam setelah mengucapkan terima kasih kepadanya, namun aku diam di balik gerbang. “terima kasih, hati-hati ya, Bian.” Ucapku dalam hati.
Beberapa hari kemudian aku berniat untuk pulang sendiri menggunakan angkutan umum. Aku pun bertanya arah ke rumah ku kepada Bian. Bukannya arah yang kudapat, malah dia memaksaku untuk pulang bersama. “dasar aneh!” itulah kesanku padanya dalam hati.Sampai di rumah aku langsung menutup gerbang dan berlari ke dalam rumah. Di pintu aku dikejutkan oleh kehadiran ibuku.
“mamah ih, bikin aku kaget aja.” Ucapku kepada ibuku
“eh Ikey dah pulang? Katanya mau pulang sendiri kok malah dianter sama temen sih? Cowo lagi. Ehm ehm.. anak mamah udah gede nih.” Goda ibuku.
“aah mamah apaan sih?! Cuma temen kok.” Jawabku dan berlari menuju kamar sambil menahan malu.
Setelah melepaskan penatku, aku mengirimkan SMS ke Bian. Aku mengajaknya kerja kelompok di rumahku besok. Dan Bian pun menyanggupinya. Pagi harinya aku yang sedang beres-beres ruang tamu, rencananya aku akan menggunakan ruangan ini untuk kerja kelompok.
“tumben Key, pagi-pagi udah rapih, wiih langsung beres-beres lagi.” Ujar ayahku mengagetkan ku
“eh papah, ini aku mau kerja kelompok disini, biar enak makanya aku beresin.” Jawabku
“oooh, siapa Key?”
“itu loh pah yang waktu itu papah tanyain pas di sekolah. Temen sebangku aku.”
“ooh jadi dia juga yang kemaren nganterin kamu pulang Key? Eciee. ” goda ibuku dari belakang
“ish mamah apaan sih? Temen doang iih.” Jawabku sedikit kesal karena digoda.
“kalo temen ga mesti pake merah segala kali mukanya.” Timpal ayahku yang semakin menyudutkan ku.
Akhirnya jam 10 pun tiba, namun nampaknya Bian sedikit telat.
“Assalamualaikum!! Ikey!!” terdengar suara Bian dari balik pagar.
“woo telat woo! Dibilangin jangan telat. Ayo cepetan masuk!” ajakku sambil membukakan pagar.
“maaf Key, tadi aku dandan dulu. Haha.” Jawabnya bercanda
“ngapain dandan coba?” aku pun menuju ruang tamu
“kan mau ketemu kamu Key.”
“heh, ngapain kamu diem disitu? Ayo sini masuk!” tegurku ke Bian, karena dia hanya diam saja.
“kamu cantik Key. Sumpah!”
“katanya aku gendut?!”
“Iyasih, tapi cantik Key! Sumpah!”
Aku pun hanya diam saja sambil menahan malu mendengar perkataannya. Akhirnya kami pun memulai kerja kelompok kami.
Sekitar pukul 4 sore pekerjaan kami pun selesai, tak disangka Bian mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. Aku pun mengiyakannya. Dalam perjalan kami singgah dulu di sebuah kafe untuk mengisi perut kami yang kosong ini. Karena cukup lama disini aku mulai bosan dan ingin segera pulang.
“aah bosen! Anterin aku pulang gak!” ancamku kepada Bian
“yah Key, nanggung bentar lagi. Kalo malem pemandangannya bakalan indah.” Jawabnya
“awas loh, kalo kamu bohong! Pokoknya kalo ga bagus pemandangannya kamu harus pindah tempat duduk!” lagi-lagi aku mengancam
“lah terus nanti aku duduk dimana dong?”
“duduk aja sana sama wali kelas! Wleee”
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Benar saja apa yang Bian janjikan, pemandangannya sungguh indah. Namun yang paling berkesan adalah ketika ia menyatakan perasaanku padanya. Sebenarnya aku pun memiliki perasaan yang sama dengannya. Namun aku lebih suka untuk menunggu hingga aku benar-benar yakin kepadanya. Dan Bian pun mengerti sehingga sampai saat ini kami hanya bersahabat.
Satu semester telah aku lalui di Bandung. Walaupun aku hanya memiliki satu sahabat, namun sahabatku ini mampu menutupi semua kekuranganku. Mengenai Dian, aku merasa bersalah. Karena keasyikan dengan sahabat baruku ini, aku jadi lupa menanyakan akan keadaannya disana. Rencananya liburan semester ini aku akan kembali ke Palembang untuk mengunjungi sahabatku ini.
Liburanpun tiba, aku yang ditemani ibuku pun pergi ke Palembang. Sedangkan ayahku tidak dapat meninggalkan pekerjaannya.Beberapa hari sebelumnya aku mencoba menghubunginya, namun tak ada jawaban darinya. Beberapa jam kemudian aku telah sampai di rumahku. Walau lama ditinggal namun kondisi rumahku tidak begitu berantakan. Tanpa piker panjang aku langsung pergi ke rumah Dian. Ya rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku, hanya beberapa blok saja. Aku agak heran karena rumahnya cukup sepi, tidak ada siapa-siapa disana. Aku hanya bisa menemui Mbak Irmah, asisten rumah tangga yang sudah cukup lama bekerja di keluarga Dian. Setelah beberapa menit mengobrol bersama Mbak Irmah, akhirnya aku tahu kalau Dian sedang pergi ke Singapura untuk terapi penyakitnya. Leukimia, ya itulah penyakit Dian. Semenjak SMP Dian sudah menderita penyakit itu. Namun Dian masih terlalu tangguh untuk dikalahkan oleh penyakitnya.
Aku sedikit kecewa dengan kegagalanku menemui Dian. Namun doaku tak akan terputus demi sahabatku ini. Liburanku di Palembang pun sangat membosankan. Tepat seminggu aku berada disana, setelah itu aku dan ibuku kembali pulang ke Bandung. Malam sebelum masuk sekolah Bian menghubungiku. Tak kusangka aku dan dia kembali sekelas lagi. Aku senang, setidaknya ada orang yang ku kenal di kelasku nanti.
Keesokan harinya, tepat pagi hari di sekolah. Aku melihat Bian yang sedang berbincang dengan kawannya di kelas. Dan dia mengisyaratkan bahwa dia ingin duduk sebangku lagi denganku. Namun aku memilih duduk dengan yang lainnya.
“maaf ya Bian, bukannya aku ga mau sebangku lagi sama kamu, aku Cuma gamau terus bergantung sama kamu. Biar kali ini aku bisa dapet temen selain kamu.” Ucapku dengan penuh harap dalam hati.
Saat melihat kearahnya aku cukup kasian juga karena dia hanya diam saja. Nampaknya dia sedikit kecewa dengan keputusanku ini. “hemm, apa aku pindah aja ya ke tempat dia? Kan kasian juga kalo duduk sendirian.”, batinku. Namun sebelum aku sempat pindah, guru sudah masuk ke kelas dan memulai materi. “yaah, sudah ada guru. Nanti saja deh pas istirahat aku pindahnya.” Kataku dalam hati. Beberapa menit pelajaran dimulai, seseorang mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk. Sepertinya dia siswi kelas ini, namun aku belum mengenalnya.
Karena hanya tempat yang kosong hanya disebelah Bian, maka guru pun menyuruhnya untuk duduk disana. “syukurlah, Bian ada temennya sekarang” ucapku senang dalam hati. Di sela-sela pelajaran aku sering sekali melihat kearah mereka. Sepertinya mereka sudah saling kenal, karena mereka terlihat sangat begitu akrab.
Semenjak Bian mendapatkan teman sebangkunya yang baru, aku menjadi merasa kesepian sekali. Tak terdengar lagi ocehan konyolnya kepadaku.
Aku tidak bisa menyalahkannya atas ini semua. Karena ini adalah bagian dari keputusan yang aku ambil, dan aku harus menerima semua resiko ini. Beberapa hari kemudian tanpa kusangka Bian yang tadinya sudah ku kira melupakan keberadaanku ini mengajakku makan bersamanya di kantin. Aku sangat senang sekali tentunya. Tidak banyak yang kami bicarakan saat itu, karena itu setelah makan aku mengajakknya untuk kembali di kelas.
Dalam perjalanan dia mengutarakan perasaannya yang sedang senang. Namun sepertinya aku salah menangkap situasi ini, sehingga aku dan dia terlibat dalam cekcok. Aku pun berlari dan meninggalkannya sendirian. “duh, kok jadi gini ya? Bodoh banget sih aku, kenapa aku pake ngomong gitu segala ke dia?” batinku sambil terus berlari ke dalam kelas. Sore pun tiba aku pulang seperti biasa, dijemput oleh ayahku. Dalam perjalan aku melihat Bian yang sedang mengantarkan teman sebangkunya pulang. Aku hanya bisa memperhatikan mereka dari dalam mobil. “apa benar mereka Cuma temen?” itulah pertanyaanku saat melihat mereka.
Pagi harinya saat di kelas, aku melihat Bian yang sepertinya sedang bingung. Ku perhatikan dia, namun sepertinya dia belum menyadari akan keberadaanku ini. Setelah beberapa saat aku memperhatikannya, sepertinya aku tahu apa yang sedang dia alami, tanpa pikir panjang akupun memberikan PR fisika. Dan itulah penyebab dari semua ini.
Beberapa menit kemudia kelas pun dimulai. Saat pelajaran aku yang masih penasaran akan hubungan Bian dan teman sebangkunya ini lagi-lagi mencuri pandang kearah mereka. “tuh kan akrab banget, apa mungkin mereka Cuma sebatas teman?” lagi-lagi pertanyaan ini lah yang mengganggu perasaan ku.
Siangnya saat istirahat, Bian mengajakku untuk pergi bersama. namun aku yang masih merasa bersalah akan kejadian tempo itu pun menolak ajakannya. Aku pun menolaknya dengan tegas, karena hanya cara inilah yang mampu meyakinkannya. Saat aku sedang di kantin, tiba-tiba aku dikagetkan dengan sesosok wajah yang tak asing. Dia adalah teman sebangku Bian.
“haii, Dhike yah? Kenalin aku Sinka.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
“hai juga, iyah aku Dhike.” Jawabku, kali ini aku menyambut tangannya.
“kamu sendirian aja?” tanyanya lagi
Aku tidak menjawab hanya mengangguk pelan. “kamu juga?” tanyaku
“ngga, aku sama Bian tuh.”, katanya sambil menunjuk ke satu arah.
“kamu, dari pada sendiri mendingan barengan yuk sama kita.” Lanjut
Sinka, tanpa basa-basi dia pun menarik tanganku. Kini dihadapanku ada Bian dan Sinka disampingku. Berada diantara mereka aku hanya bisa memperhatikan tingkah laku mereka berdua, ini membuat aku merasa seperti sedang menggangu mereka. Saat Sinka pergi untuk memesan makanan akhirnya aku putuskan untuk pergi ke kelas.
Setelah kejadian itu aku dan Sinka jadi semakin akrab, keakraban ini lah yang membuat aku semakin rindu dengan sahabatku Dian. Sampai saat ini masih belom ada kabar tentangnya. suatu hari aku mendapatkan kabar baik dari Dian, bahwa dia sudah berada di Palembang. Tanpa pikir panjang akhirnya aku langsung meneleponnya.
“diaaaan!! Apa kabar kamu? Kemana aja? Aku kangen kamu.” Sapaku dengan semangat.
“hehe, maaf yah Key aku ke Singapuranya ga bilang-bilang sama kamu.
Aku baik-baik aja kok Key, makasih ya kamu udah khawatirin aku. Sekarang aku di Palembang ga akan lama, soalnya aku bakalan lanjutin sekolah disana Key.” Itulah jawaban dari Dian, mendengar keadaannya yang sehat saja itu sudah lebih dari cukup untukku. Cukup lama aku berbincang dengannya di telepon. Maklum saja, aku masih sangat merindukannya.
Kini aku dan Sinka sudah menjadi sahabat, kami selalu bertukar cerita.Dari sinilah ku ketahi jika Sinka dan Bian hanyalah berteman.Suatu hari, Sinka mengajakku pergi walaupun hanya untuk sekedar jalan-jalan. Tiba-tiba obrolan kami yang tadinya hanya bercanda sesaat kemudian mulai menuju arah yang serius.
“ hem, Dhike. Menurut kamu Bian gimana?” tanyanya disela tawa
“mmmh, Bian yah? Dia baik kok, pengertian, anaknya juga lucu.” Jawabku
“iyah yah, kalo dipikir-pikir aku sering banget ngerasa nyaman waktu bareng ama dia terus. Hemm.sepertinya aku suka sama dia.” Lanjut Sinka
aku hanya bisa diam saja mendengar apa yang baru saja Sinka katakan.
“menurut kamu gimana Dhik?” kata Sinka. “Dhik, Dhike? Kok bengong sih?” tanyanya lagi sambil menyadarkan ku dari lamunan.
“eh gapapa kok. aku dukung kalian kok.” jawabku menyembunyikan perasaan.
“asyik, kamu mau kan bantuin aku? Kata Geddy, kamu deket ama Bian soalnya.”
Lagi-lagi aku tak menjawab, hanya anggukan pelan sebagai isyarat kepadanya.
Sesampainya di rumah aku hanya bisa memikirkan yang baru saja terjadi.Lagi-lagi perasaan gundah ini menyelimuti diriku.Tiba-tiba ibuku memanggil dari luar.Aku pun menghampirinya.
“ada apa mah? Eh ada papah juga?” tanyaku heran
“gini Key, papah dapat panggilan tugas untuk keluar negeri. Dan kemungkinan mamah juga ikut Key.” Jawab ayahku serius
“terus aku gimana dong pah?”
“kayaknya untuk sementara kamu bisa ke Jakarta Key. Tinggal sama kakak kamu disana.” Jawab ibuku.
“berarti aku harus pindah lagi mah?”
“iyah nak, maafin papah dan mamah ya.” Sambung ayahku
“kapan kita pindah pah?”
“akhir bulan ini.”
Aku pun hanya bisa mengiyakan permintaan kedua orang tuaku ini.Setelah itu aku hanya bisa diam seribu bahasa, lagi-lagi aku harus meninggalkan sahabat-sahabatku disini.Namun kali ini berbeda, karena aku harus meninggalkan orang yang aku sayang sekaligus.Sedangkan akhir bulan tinggal seminggu lagi.
“apa yang harus aku lakukan? Apakah jujur dengan perasaan ini?” batinku
Sehari sebelum keberangkatanku ke Jakarta, aku mengajak Sinka ke tempat dimana aku dan Bian selama ini sering menghabiskan waktu bersama.
“tumben Dhik, kamu ngajak aku maen ke tempat bagus gini. Ada yang mau kamu sampaikan yah?” tanyanya serius
“iyah Sin, ini tempat aku dan Bian buat menghabiskan waktu, ya sekedar untuk santai dan melepas penat.” Jawabku
“kamu sering yah maen kesini sama Bian.”
“hampir tiap hari aku kesini waktu kelas 2 sama Bian.”
“sebenernya hubungan kamu sama Bian apa sih Dhik?” tanyanya dengan nada yang mulai tinggi
“aku sama Bian punya perasaan yang sama Sin.” Akupun mulai menitikkan air mata.
“tapi untuk saat ini kita Cuma sahabat Sin. Sebenernya aku pengen jujur sama kamu dari awal, tapi aku takut. Aku baru bisa bilang ini ke kamu sekarang, karena kamu sahabat aku, Sin. Dan apapun komentar yang bakalan keluar dari mulut kamu akan aku terima Sin.” Lanjutku, aku pun melihat kearah Sinka, dan ternyata dia pun ikut meneteskan air matanya.
“kamu jahat, Dhik. Kalo kamu emang beneran anggap aku sahabat, seharusnya kamu udah bilang ini dari awal.Dan dan semuanya pasti ga akan kayak gini kan, Dhik?” dan dia pun pergi meninggalkan diriku.
Aku belum bangkit dari tempat dimana ku duduk. Aku hanya bisa memandang lurus ke depan dengan pandangan yang kosong. Kemudian ada suara yang memecah lamunanku ini.
“hah? Bian?” aku segera bangkit dari tempatku dan mencoba menghindarinya.Namun usahaku gagal, dia berhasil menggenggam tanganku dengan erat.Entah sejak kapan akupun mulai menangis dan Bian pun memelukku.Diapun berhasil menenangkanku yang sedang menangis.Akhirnya dia memutuskan untuk mengantarkanku pulang.
Dalam perjalanan, hujan pun turun.Dan kami pun berteduh di sebuah gubuk sederhana.Aku masih diam saja karena memikirkan kejadian tadi. Tiba-tiba Bian membuka percakapan, dan kami mulai membicarakan akan sikapku yang akhir-akhir ini menjauhinya. Aku pun menceritakan akan masalah yang sedang ku hadapi dengan Sinka. Namun sekali lagi Bian mengatakan, tak peduli apapun perasaan yang Sinka rasakan terhadapnya, ia hanya akan tulus menyanyangiku. Entah kenapa hujan malam ini begitu tenang.
“Apakah hujan ini sengaja menahanku agar aku bisa menikmati malam terakhirku dengannya?” pikirkku
“atau hujan ini memaksaku berada disampingnya agar aku mampu mengutarakan perasaanku?” lanjutku dalam hati
“jika memang kalau aku harus jujur sekarang, lalu kenapa bibirku tak mau berbicara?” perasaanku pun mulai tak menentu, dan aku hanya bisa memandangi wajah sampingnya. Tanpa adanya perasaan yang mampu kuucapkan kepadanya.
“Tuhan, maafkan aku.seharusnya aku bisa lebih jujur.”
Hujanpun reda, dan kami melanjutkan perjalan ke rumahku. Baru saja beberapa menit aku beristirahat, terdengar lah suara ponselku bordering.
“hallo, dengan Dhike disini. Maaf anda siapa ya?”
“ha hallo. Dhike ini aku Sinka.” Jawabnya dari balik telepon.
“o oh, Sinka. A ada apa ya Sin?” jawabku gugup
“aku mau minta maaf sama kamu Dhike, maafin aku atas perlakuanku tadi sore. Aku Cuma salah paham.aku sebagai sahabat kamu juga mestinya ngerti dengan keadaan kamu saat itu. Maafin aku ya Dhike.” Jelas Sinka. Mendengarkannya aku mulai tersenyum
“aku udah maafin kamu kok Sin. Maafin aku juga ya, aku ga jujur sama kamu dari awal. Sin, ada yang sekalian mau aku omongin juga ke kamu.”
“ngomong aja Dhik,”
“jadi gini, besok aku akan pergi ke Jakarta, dan aku akan bersekolah disana. Besok kamu mau ga ketemu ama Bian di bukit?Tolong ya jelasin ke dia tentang semua ini. Kamu mau kan Sin?” ucapku penuh harap kepadanya.
“iyah Dhike, aku mau kok. kan kamu sahabat aku.”
“makasih ya Sinka, panggil akunya Ikey aja yah.”
“iyah Ikey sayaaang.. makasih juga ya.”
Akhirnya kami mengakhiri perbincangan kami ditelpon. Aku senang karena sekali lagi ada seseorang yang mengerti akan perasaan ku ini. Namun esok hari adalah hari terakhir aku berada di Bandung. Entah kapan aku bisa kembali ke kota yang penuh kenangan ini.
Pagi hari, aku yang sedang berbenah barang-barang tak lupa aku mengirimkan pesan singkat ke Bian.Aku memintanya untuk menemuiku di bukit sepulang sekolah hari ini.Sore harinya aku dan keluarga sudah siap untuk meluncur ke Jakarta. Cuaca sore ini cukup gelap, bahkan sepertinya akan turun hujan.
“kamu sudah siap Key?” Tanya ayahku sambil mencari-cari seseorang di ujung jalan
“udah kok pah, papah nyariin siapa sih?” tanyaku yang heran dengan tingkah ayahku
“cari Bian. Tapi kayaknya kamu ga ngasih tau ya kalo kita mau pergi?”
“ngga paah, aku ga pamit sama dia.”
“kamu yakin gapapa?”
“yakin kok pah.”
Setelah semuanya siap, akhirnya kami pun jalan.Beberapa saat sebelum berangkat hujan pun turun. “kenapa selalu turun hujan pada saat seperti ini yah? Perasaanku juga mendadak ga enak gini.” Pikirku dalam hati.Dalam perjalan tiba tiba ada keramaian di pinggir jalan.Dari dalam mobil aku melihat scooter Bian yang tergeletak dengan keadaan rusak.Namun aku tak menemukan sosoknya dimana pun.Akhirnya karena cukup macet ayahku turun dari mobil untuk memastikan keadaan di luar.
“ada apa pah?” Tanya ibuku
“itu tadi ada kecelakaan tunggal.”
“terus orangnya gimana pah?”
“tadi sih katanya orangnya gapap, Cuma kakinya patah. Sekarang udah dibawa ke rumah sakit.”
Mendengar cerita dari ayahku, sontak aku pun menangis.
“kamu kenapa Key?” Tanya ibuku yang panic karena melihatku menangis.
“itu motornya Bian, mah” jawabku sambil masih terisak.
“terus gimana? Apa kita susul ke rumah sakit?”
“gausah mah kita lanjut aja ke Jakarta. Aku gamau nambah beban Bian lagi mah.”
Akhirnya kami pun melanjutkan perjalan.
“Bian maafin aku ya yang ga pamit ke kamu.Tapi kamu tahukan artinya?Kalo aku ga pamit, berarti belum ada perpisahan diantara kita, Bi. Aku masih ingin ketemu kamu.” Doaku penuh harap.
Beberapa bulan setelah aku di Jakarta, kini aku tinggal bersama kakakku, sedangkan kedua orangtuaku kini menentap di luar negeri. Aku mengirimkan surat kepada Bian. Sebagai tanda maaf kepadanya. Namun di surat itu tak kutuliskan alamat rumahku.
“aku tunggu kamu di Jakarta, Bi. Ingat, rasa sayang adalah petunjuk.” Ucapku dengan penuh keyakinan akan kedatangannya di Ibukota.
Sampai saat ini aku belum mendapatkan kabar kedatangannya, namun aku tak akan pernah berhenti berharap. Aku masih disini, masih menunggumu. Sampai kelak aku akan mengatakan kepadamu, “selamat datang di Jakarta!”

~ To be continued ~
Author :  @biabiabian
Ingin cerpen kalian dipost disini?
Kirim email ke : cerpen@jkt48fans.com
Subject : #JKT48fanfict

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Serba Ada Serba Seru - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger